Rabu, 09 November 2011

My own trip..edisi Wonogiri..


Sendiri menempuh puluhan kilometer dengan bekal seadanya. Iyaa,saya pernah melakukannya bersama sepeda lipat saya. Saya bercerita hanya mau berbagi pengalaman dengan teman-teman yang siapa tahu ingin mencoba melakukan bersepeda dengan jarak agak jauhan hhehe. Walaupun bukan seorang atlit dan saya hanya seorang yang iseng kok. Perjalanan ini saya sebut perjalanan tapak tilas, karena sebenarnya ga ada niatan melakukannya (lhohh..ga ada hubungannya dengan tapak tilas mas). Suatu saat saya memiliki rencana untuk membawa seli ke rumah eyang di Wonogiri. Kebetulan saat itu adalah hari liburan agak panjang, karena ada harpitnas (hari kejepit nasional). Yaitu hari yang cocok buat bolos dan refreshing. Hari selasa ternyata hari kemerdekaan RI dan berarti tanggal merah lalu seninnya kecepit donk..kasihan..bolos aja yaa skalian dan skali-skali hhehe. Setelah mendapat restu orang tua,akhirnya saya berangkat juga. Dari semarang kira-kira pukul 06.00 WIB. Sepeda telah terlipat dan siap mencegat bis. Bis berwarna hijau telah berhenti dan ku masukan seli (sepeda lipat) ke dalam bagasi di bagian samping bis. Karena hari minggu pagi, kondisi bis sangat sepi. Saya memutuskan duduk di belakang dan diajak ngobrol dengan kondektur bis. Mulai bertanya dari masalah harga seli hingga tanya saya punya pacar atau ga (buseeettt...). Perjalanan sangat lancar dan saya turun di kota Solo pukul 08.00 WIB. Setelah sepeda saya turunkan dan membuka lipatan serta meletakkan tas pannier (tas yang dibawa pada sepeda) ke tempatnya. Isi tas pannier saya saat itu sedikit banyak,selain baju-baju untuk tiga hari serta peralatan bersepeda jika ada kerusakan di jalan atau ban bocor. Pagi itu mencoba menyusuri jalan yang paling terkenal sekota Solo yaitu jalan Slamet Riyadi. Jalan ini membentang dari tugu stasiun Purwosari hingga patung jenderal soedirman. Ternyata jalanan ini sangat sepi..tidak ada motor skalipun dan ternyata pemerintah Solo sedang getol-getolnya ngadain Car Free Day yaitu hari pemberian mobil gratia (preeeetttt...) maksudnya hari bebas kendaraan bermotor gitu. Setelah menyusuri sejenak acara Car Free Day, saya memutuskan akan mengayuh sepeda saya ini menuju Wonogiri. Jarak yang ditempuh sekitar 30-40KM perjalanan nyantai. Kondisi jalan yang variatif,menanjak,bergelombang dan sempit. Saya mulai mengayuh perlahan dan perut terasa sangat lapar dan baru teringat bahwa pagi itu saya belum sarapan. Kemudian saya memutuskan untuk sarapan di Sop Ayam Pak Min. Sop di kala pagi itu sangat menyegarkan deh. Tidak lama berselang saya melanjutkan perjalanan. Matahari mulai terasa menyengat dan tiba di tanjakan dengan kemiringan 50 derajat dan melandai. Nafas mulai tidak beraturan. Akhirnya selama dua jam mengayuh, sampai juga di rumah eyang dan sempat terbengong-bengong apakah cucunya tersebut beneran gowes sepeda. Maklum baru kali itu saya membawa sepedaku ini hingga Wonogiri. Entah mengapa badan di kala saat itu tidak merasa capek hhehe..dasar anak muda gila.

selamat datang di kota wonogiri..hutan pinggir waduk..merindingg..

Setelah hampir seharian hanya beristirahat keesokan harinya tepatnya sore hari, saya mencoba mengayuh seli menuju waduk Gajahmungkur nan tersohor itu. Waduk yang mengendalikan aliran air dari sungai Bengawan Solo..riwayatmu kinii..(malah nyanyii..jaaannnn). Mencari jalan alternatif yang saya tidak tahu. Asal masuk kampung, kemudian tanya-tanya, blusukan di jalan setapak dan akhirnya menemukan hutan di samping waduk. Kayaknya mau sampai nih,tapi belum terlalu yakin. Setelah memutari hutan ternyata kawasan waduk telah kelihatan. Tampak banyak pemuda-pemudi Indonesia sedang ngabuburit di kawasan yang oleh orang Wonogiri ini lebih terkenal dengan kawasan “proyek”. Terlihat di ujung jalan ada suatu mirip dermaga atau jalan menuju PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Tapi sayang pintu pagarnya dikunci dan anehnya ada orang yang bisa masuk. Ternyata pintu tersebut dapat dikelabuhi dari samping, tanpa membuka pagar. Akhirnya saya gendong selinya untuk masuk melalui pintu samping. Take a picture of my folding bike,sebagai kenang-kenangan bahwa ini seli pernah sampai Wonogiri biar ga disebut no pict is hoax hhehe. Sore itu agak mendung karena memang efek musim penghujan. Akhirnya setelah magrib saya putuskan untuk pulang dan mempersiapkan pulang besok. Saya berencana bersepeda dari Wonogiri hingga Semarang. Tapi itu masih dalam taraf rencana sih.

di luar pagar ga bisa masuk..tapi eittzz..taraaaa..masuk juga dah..

tampak dari kejauhan PLTA waduk gajahmungkur..hmmm..pengen nyemplung aja nih.

Keesokan harinya, saya bangun pukul 04.45 WIB dan masih belum ada rencana gowes menuju Semarang. Gila aja, sendirian dengan sepeda lipat menempuh jarak hampir 150km? Sejenak merenung sambil memandangi sepeda lipat beserta pannier yang tampak telah terpasang. Saya kemudian bertekad untuk mencoba gowes dari Wonogiri menuju Semarang. Kebetulan hari itu tanggal 17 Agustus dan sekalian mempersembahkan gowes ini demi para pahlawan. MERDEKAAAAAA!!! Bener ya?? Tiiittt ya?? Gowes ampe rumah ya?! Pertanyaan itu seolah ingin melemahkanku. Setelah pamit ma eyang dan saudara, akhirnya saya memantapkan diri gowes. Sebelum gowes saya sempat menengok kantong saya, berharap menemukan uang yang cukup untuk bekal di jalan jika saya ga kuat bisa naik bis dan melipat sepeda. Kurogoh sarung celana..eh maksudnya saku celana dan mengeluarkan uang. Hanya tersisa Rp.26.600 dan tidak ada lagi. Ingin minta sangu eyang tapi bukan sifatku minta sangu karena slama ini ga pernah, mo pinjem sodara tapi malu. Ya sudahlah hanya dengan uang seadanya ini semoga Tuhan merestuiku hingga Semarang. Ku awali kayuhanku di pagi yang masih sepi dan teringat saya belum sarapan. Jika dipikir logika saat itu, saya harus mengayuh minimal sampai Solo. Karena uang saya hanya cukup untuk naik bis dari Solo menuju Semarang. Setelah mengayuh hingga Sukoharjo, saya berencana sarapan di Sop Pak Min itu, tapi karena kepagian dan masih tutup. Tepat pukul 08.00 WIB saya sampai juga di kota Solo. Masih dengan perut lapar akhirnya saya tertidur (hehh..ndenggg..tangi,nek kuwe turu sing numpak pit tekan semarang sopo?? | oiyoo ding..) Ga jadi tertidur meskipun komplikasi lapar dan mengantuk menjadi satu. Inilah yang menjadi pengalaman berharga bagi saya, saya menjadi takut untuk masuk ke rumah makan. Uang saya pas-pasan,bagaimana nanti jika uangnya kurang atau makanannya terlalu mahal sedangkan perjalanan masih jauh. Ada dua pilihan ketika sampai Solo yaitu saya makan tapi lanjut gowes atau saya ga makan tapi naik bis. Dan saya memutuskan makan daripada sakit, artinya selanjutnya saya harus gowes hingga Semarang. Saya mencari tempat makan yang benar-benar murah. Saya kemudian berpikir bahwa biasanya saya naik motor, uang cukup untuk makan di kelas menengah. Kini untuk makan di pinggiran pun saya harus mikir dulu takut uangnya ga cukup. Ada warung kecil yang barusan buka,saya memberanikan diri untuk masuk. Memesan soto ayam dan teh hangat,ga berani ambil lauk pauk karena skali lagi takut uang ga cukup. Sambil ditanyain orang yang juga makan disitu, “Dari mana mas?” saya pun menjawab “dari wonogiri pak.” Lanjut bapak itu “Wah lumayan juga yaa, mau kemana?”. Dengan spontan saya menjawab “Ke Semarang pak.” Bapaknya agak kaget,kemudian bertanya lagi “Lahh..teman-temannya mana? Dibelakang?” Jawabku lagi “Cuma sendiri pak.” Si bapak lalu tidak meneruskan pertanyaan karena tampaknya sudah terburu-buru, atau mungkin sambil berujar “Dasar wong edan” hhehe. Selesai makan saya langsung menanyakan harga menu sarapan pagi saya dan ternyata hanya habis Rp.5000 saja..yiihhhaaa..(sambil joged kayang,patah-patah dan goyang ngecor). Perjalanan masih panjang dan uang tinggal Rp.20.600, panas semakin menyengat. Mulai menuju arah boyolali dengan jalan sedikit menanjak dan panjang sekali. Kesalahan saya adalah melihat papan petunjuk yang mengatakan bahwa Semarang masih 89 KM lagi. Whaaatt?? Lemes rasanya membayangkan Semarang masih jauh. Berkali-kali saya merasa bosan dengan perjalanan seorang diri, bahkan deretan lagu di hape yang menemani perjalan saya tidak terlalu menarik lagi. Setiap beberapa kilometer mengayuh kemudian saya berhenti, begitu seterusnya. Saat-saat seperti inilah saya harus mampu memotivasi diri sendiri. Disaat saya lelah dan tak berdaya, hanya saya yang dapat menolong diri sendiri. Setelah sedikit merenung sambil ngemil biskuit dan jus jeruk yang saya bawa, saya mulai berpikir (lagi). Cobalah mengayuh untuk beberapa meter saja dan jangan membayangkan ujung perjalananmu. Ingatlah, semua perjalanan di awali oleh sebuah langkah kecil. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin. Mencoba kembali mengayuh, walaupun masih beberapa kali hampir terlunta karena jalan yang nanjak..turun..nanjak lagi..susahnya. Pukul 12.00 WIB sampailah di Salatiga. Di kota ini saya menyempatkan untuk makan bakso ABC nan legendaris gitu..baksonya yang istimewa di antara segala bakso di dunia,karena baksonya bulaaaat (praaaakkkkk...dirungok’ke tenanan tak kiro baksone piye ngono,jebul yo podo wae bunder leeee thooleee). Lagi-lagi saya ga berani masuk karena takut harganya kemahalan. Saya kemudian mengirim pesan singkat alias semeses ke teman kantor dan memastikan harga bakso ABC dibawah Rp.20.600 hhehe. Setelah memberanikan duduk, pesan dan memakannya kemudian beranjak membayar saya terkaget lagi. Ternyata harganya di bawah Rp.10.000..yihaaaaa..(goyang ngesot-ngesot..ndlosor-ndlosor). Perjalanan semakin panas dan menantang. Kesalahan saya yang kedua adalah membaca papan penunjuk arah yang mengatakan bahwa Semarang masih 49 KM lagi. Semmmmm..udah gowes lamanya minta ampun hanya berkurang 40 km?? Lanjutkan saja deh..walaupun tanjakan di Bawen membuatku agak sedikit mual. Perlahan tapi pasti, tanpa memaksakan diri. Tiba juga saya di Ungaran, kemudian bertemu bapak-bapak yang naik sepeda gunung. Sempat saya mengklingklong pake bel sepeda saya(hal yang slalu saya lakukan jika berpapasan dengan pesepeda dimanapun dan siapapun) Dia kemudian putar arah menghampiri saya dan bertanya-tanya darimana serta mau kemana. Mengajakku gowes bareng suatu saat dan dia mengajak skalian pulang lewat jalan di belakang kota Ungaran. Karena searah, saya pun mengiyakan ajakan orang yang belum saya ketahui namanya. Dia tampaknya sangat terlatih dan sering sekali bersepeda. Setelah beberapa saat saya mengayuh dan mencoba melihat ke belakang,”lhoh..bapak tadi kemana ya??” (atau jangan-jangan hantu kali). Akhirnya saya menunggu sebentar dan tampaklah dia sedang tergopoh-gopoh. “Aduhh..saya mungkin udah kecapekan nih, tadi berangkat sempet ke ambarawa”. Saya pun Cuma tersenyum, mengiyakan apa yang bapak tadi ucapkan. Di pinggir jalan tampak ada warung kucing, dia memintaku untuk beristirahat sejenak. Sambil minum teh hangat di teriknya panas siang yang beralih sore. Tanpa berlama-lama saya pun pamit melanjutkan perjalanan. Mengayuh sendiri dan akhirnya tiba di rumah dengan selamat pada pukul 14.30 WIB. Muka hitam dan berkeringat,sampai ibuku tak habis pikir ngidam apa aku nak punya anak senekad kamu..ckckckck. Ibu segera menelepon ke eyang jika saya selamat sampai rumah dengan sepeda. Hhehe. Perjalanan panjang yang membuatku sangat menikmatinya. Tanpa ada yang mengatur ritme perjalananku, mengatur sendiri kemampuanku dan capek-capek sendiri. Ada hal yang membuat saya mengambil hikmah edisi gowes tapak tilas ini. Pertama, terkadang ga selamanya kita bisa merasakan apa yang biasa kita rasakan. Seperti halnya tadi saya masuk ke tempat makan saja ga berani karena takut uangnya ga cukup. Ketakutan saya tadi menjadi pelajaran untuk berpikir sejenak mengenai arti kata bersyukur. Apapun itu, bersyukurlah atas apa yang kau dapatkan. Kedua, memotivasi diri itu perlu. Sempat saya hampir putus asa karena dihajar panas, tanjakan, lapar dan lelah. Mencoba untuk berpikir sejenak dan sedikit rileks. Menyemangati diri sendiri agar semangat memenuhi tangki jiwa yang mulai kosong. Ketiga, tak ada sesuatu yang tak mungkin. Jika kita berpikir bahwa hal tersebut adalah mustahil berarti itu benar. Tapi akan salah ketika kita tak mau mencoba dan berusaha. Seperti halnya kayuhan sepeda yang slalu ke depan, membuat kita jangan terlalu melihat ke belakang dan mencoba fokus ke depan. Fokus ke depan bukan berarti kita hanya memperhatikan lurus saja, sesekali cobalah melihat di sekitar. Sehingga kita tidak terlalu cepat melewati hidup karena terdapat hal-hal yang menarik ketika kita menikmati sekitar kita. Berbagi terhadap sesama, sekecil apapun adalah berbagi. Bukan masalah banyak atau sedikit tapi kesediaan kita berbagi.

sampai di kota boyolali...menanti teriknya sang mentari di kebun kopi salatiga-bawen..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar